Februari 01, 2009

At First Sight

Februari 01, 2009
Would I say I love him?
Kalau harus menjawabnya sekarang, I would say I dont know.
Aku sungguh-sungguh tidak tahu saat harus menghadapi kemanjaannya yang memaksa aku berkata ‘I love you’ saat dia meneleponku karena kangen dan terus menegaskan bahwa aku jatuh cinta padanya.
Tapi aku mencintainya saat dia memanggilku ‘sayang’ setiap kali mengangkat teleponku, aku mencintainya karena aku sungguh merasa nyaman mengetahui dia menyayangiku. Aku mencintainya saat ia membuatku terbahak-bahak di tengah malam buta mendengar ceritanya. Aku mencintainya karena ia bisa menjadi dewasa dan childish pada kondisi tertentu.
Apakah itu semua menunjukkan kalau aku mencintainya?Maybe. Jarak Jakarta-Bontang terlalu jauh untuk kami bertemu setiap hari dan mengungkapkan cinta [kalimat yang sering disalahartikan]. Jarak itu juga yang membuatku meragu saat ingin mengendapkan cintaku dalam-dalam untuknya. Aku belum mengenalnya dengan baik. Kehidupannya yang sebenarnya, and vice versa.
Honestly, I’ve never meet him. Hanya sekali melihatnya live on webcam dan berkali-kali [hampir tiap hari] chatting plus talking on the phone. Memang dasar hati, tak punya mata dan kepala, jatuh cinta pun tak terbendung.
Dan, mohon maaf kalau bahasaku campur aduk. Terkadang, aku lebih fasih dan nyaman menggunakan bahasa Inggris. Dalam tes IQ, kemampuan berbahasaku sangat tinggi, tapi giliran tes bahasa Indonesia, nilainya paling rendah diantara semua tes yang dilakukan, termasuk tes kemampuan abstrak dan bahasa asing.
Okay, love on the net is not really a guarantee that he really loves you. Bahkan, diragukan oleh orang-orang sekitarku yang mengatakan “jangan buang-buang hatimu untuk mencintai orang yang belum pernah kamu temui”
“Yaa...gue udah jatuh cinta aja, mau gimana lagi?” Jawaban khasku saat teman-teman dekatku meragukan rasa sayangnya kepadaku. Well, they just wanna protect me from hurting, you know.
Mmm....yang namanya jatuh cinta, nyata ataupun maya, tetap saja membuat hatimu berbunga-bunga. Kalau dalam film India, sepasang muda-mudi yang sedang jatuh cinta akan berlari-lari di kebun bunga lalu bernyanyi dan menari mengungkapkan cinta. Saat lagu berakhir, barulah kembali ke realita. Kira-kira seperti itu.
Aku dan Ali akan menapaki kenyataan saat kami bertemu. When the meet cute finnally ours.

* * *
Siang ini Sepinggan terlihat lengang, aktivitas lebih banyak terjadi di sekitar pintu masuk keberangkatan. Hanya ada beberapa orang lalu-lalang di sekitar ruang tunggu terminal kedatangan. Aku mulai bosan memelototi layar besar yang menguraikan jadwal kedatangan. Tertulis di situ, kedatangan pesawat Garuda Indonesia dari Jakarta tertunda. Menyebalkan!

Beberapa menit lalu, Ali menelponku
“Bi, pesawatnya ditunda sampai jam 5. Sabar ya Bi.” Seharusnya dunia tahu, aku bukanlah tipe orang penyabar. Patients is a skill and I dont have that kind of skill.
“Ya udah deh, Abi tunggu di Bandara aja.” Aku mulai mengambil napas panjang dan melepaskannya bersama kekesalanku.
Seharusnya aku tahu kalau pesawat di jaman sekarang ini tidak ada yang on time. Kalau saja aku menganut sistem itu, aku tidak akan bangun subuh dan menyetir sendiri selama 5 jam untuk menjemput kekasih mayaku itu.
Yup! This is the day when the meet cute is really going to happen.
Satu menit...dua menit...lima menit...Duduk di ruang tunggu membuatku kesal. Akhirnya aku beralih ke coffee shop di samping tangga yang menuju ke waving terminal di lantai 2. Berharap sepotong kue manis dan iced capuccino bisa membuatku melupakan kekesalan.
Handphone di saku jeansku berdering dan bergetar singkat. Tanda sms masuk.

From: Dokter Ikan Abi [0812964xxxx]
Lg ngapain, Bi? G lagi marah2 kan?

Manusia yang satu ini seperti sudah mengenalku sejak 10 tahun lalu. Atau dia memiliki teropong bulan yang bisa mendeteksi setiap gerak-gerikku?

To: Dokter Ikan Abi [0812964xxxx]
G kok, Abi lg ngopi. Abi sangat SABAR.

Tak lama terdengar dering dan getar panjang. Nama Dokter Ikan Abi muncul di layar besar blackberry-ku.
“Halo.” Jawabku singkat dengan muka cemberut yang tak bisa dilihatnya.
“Abi kalo lagi kesel tambah cantik deh. Tapi gak pake cemberut gitu dong, sayang.”
“Abi gak cemberut kok. Sok tau.” Terdengar tawa renyah dari seberang telepon. Suasana di latar belakangnya terdengar riuh. Aku menduga, bukan hanya aku satu-satunya orang yang kesal dengan penundaan ini. “Aku bisa membayangkan kalau kamu lagi cemberut, sayang. Pasti tambah cantik.”
“Udah deh, Ali bikin Abi tambah kesel aja. Abi ini udah capek-capek nyetir. Gak mau tau, pokoknya ntar Ali yang musti nyetir dari Balikpapan. Abi capek.”
“Iya, sayang tenang aja. Ntar aku yang nyetir. Abi ngopi dimana sekarang?”
“Di Bandara lah. Masa mau ke mall. Kejauhan kali.”
“Iya, Ali tau. Di sebelah mana?”
“Deket tangga, gak jauh dari terminal kedatangan.” Aku mulai malas menjawab telepon. Meskipun aroma kopi sudah mengisi perutku, rupanya kafeinnya tidak bekerja untuk otakku. Aku merebahkan kepalaku di meja, berbantal lengan kiriku yang tidak memegang handphone.
“Ya udah deh. Abi tunggu ya. Sejaman lagi aku nyampe. Udah ya.” Aku membalas dengan anggukan malas, seakan-akan dia bisa melihatku. Dasar bodoh!

Satu menit...tiga menit...lima menit....tujuh menit...aku bosan menghitung waktu. Mataku mulai terasa berat. Meja kayu yang keras ini akan segera menjadi tempat tidurku. Aku tak peduli, aku hanya ingin tidur. Mataku sudah 5 watt.
Akhirnya mataku terpejam. Entah untuk berapa lama, yang jelas tidur di tempat ini terasa nyaman. Aku bisa memimpikan detik-detik saat akhirnya aku bertemu Ali. This excitements embeded into my bubble dreams.
Aku bisa merasakan tangannya yang hangat menyentuh pipiku dengan halus. Membuatku semakin mengantuk. Lalu ia membelai rambutku, menyusuri setiap lekuk wajahku. Berbisik “I miss you, Bi”. Dia selalu memintaku mengatakannya, tapi kalimat itu tak pernah diucapkannya sekalipun.
Ini mimpi yang indah.
“Bi...tidurnya kok bisa enak banget, Bi?” Aku bisa mendengar suara Ali memenuhi gelembung-gelembung mimpiku. “Bi...bangun Bi, malu diliat orang.” Saraf-saraf simpatisku mulai bekerja mengalahkan rasa kantuk yang mendera. Aku mulai kembali ke riuhnya manusia-manusia yang tidak sabar menunggu penundaan. Suasana coffee shop kembali mengisi kesadaranku. Tapi kali ini ada orang lain yang duduk di depanku, orang itu meletakkan tangannya di pipiku. Ini kenyataan atau masih mimpi?
“Abi ini perempuan aneh. Bisa-bisanya tidur di tempat umum kayak gini.” Mataku langsung terbelalak. Ini bukan mimpi!
Memalukan! Pertemuan pertama seharusnya mengesankan.
“HAH?! Sejak kapan kamu di sini? Emang Abi tidur sejam ya?” Aku beranjak dari posisi tidurku. Mengusap-usap mataku. Untung aku tidak memiliki kebiasaan ngiler dan ngorok saat tidur. Bisa jadi lebih memalukan dari ini.
Ali tersenyum, mata sipitnya menatapku. Menelusur dalam-dalam menembus ke belakang otakku.
“Hai, Abi.” Tegurnya dengan suara lembut, aku pun tersenyum malu-malu. Membayangkan diriku sedang mengedip-ngedipkan mata dengan pipi bersemu merah.
“Hai, Ali.” Jawabku. Kami masih tersenyum malu dan saling menatap selama beberapa detik berikutnya.
“I’m here, Abi.” Katanya lagi.
“You’re here.” Jawabku sambil tersenyum. Kembali menatapnya dalam diam selama beberapa menit berikutnya.
“I really wanna kiss you right now.” Katanya.
“APA?!” tiba-tiba suasana saling menatap itu membuatku sangat malu. “Udah, ayo kita pulang.” Aku beranjak dari tempat duduk plus tempat tidurku. Ali pun mengikutiku. Aku tahu dia kesal karena aku menghindar. Ia menenteng backpack hitam-nya di satu pundak. Berdiri di depanku, siap mengikutiku. Tapi waktu aku baru melangkahkan satu kaki, ia menarik pinggangku, pelan dan tegas, lalu mendaratkan ciumannya di bibirku. Pelan dan lembut. Terdengar beberapa orang berteriak kaget. Masa bodoh ini tempat umum atau bukan. Aku menikmatinya, aku menyukai ciumannya.

Dua detik....lima detik....tujuh detik...saat Ali melepaskan ciumannya, kami berdua tersenyum geli. Tidak ada yang perlu dikatakan, kata-kata hanya akan menghilangkan makna.
Ali menggandeng tanganku sepanjang jalan menuju tempat parkir.
This is the time when I would say, “I love surprises!”

* * *

0 komentar:

Posting Komentar

 
Abby © 2008. Design by Pocket Blogger Templates